"AS-SIBAQ" (BERPACU) | Oleh: Anis Matta,

(Refleksi Tahun Baru Islam 1436 H)

Hidup adalah masa karya. Setiap kita diberi rentang waktu, yang kemudian kita sebut umur, untuk berkarya. Harga hidup kita, di mata kebenaran, ditentukan oleh kualitas karya kita. Maka sesungguhnya waktu yang berhak diklaim sebagai umur kita adalah sebatas waktu yang kita isi dengan karya dan amal. Selain itu, ia bukan milikmu.
Itulah undang-undang kebenaran tentang hakikat waktu. Kita bukan waktu yang kita miliki. Tapi kita adalah amal yang kita lakukan.
Dalam relung hakikat itulah Allah SWT menurunkan titahNya untuk ‘berpacu’ dan ‘berlomba’ dalam medan kehidupan (as-Sibaq). Hidup ini adalah jalan panjang yang harus kita lalui. Tak satupun diantara peserta kehidupan itu yang diberitahu dimana dan kapan ia harus berhenti. Sebab tempat perhentian pertama yang engkau tempati berhenti adalah ajalmu. Akhir masa karyamu.
Begitulah para sahabat dan semua manusia muslim yang agung dan besar yang pernah hadir di pelataran sejarah, memahami makna waktu dan hidup, serta melaluinya dengan semangat perpacuan yang tak pernah dapat digoda oleh kelelahan.
Apa yang mereka pakai adalah kendaraan jiwa yang seluruh muatannya adalah makna hidup itu sendiri, serta kehendak yang telah terwarnai oleh makna itu. Tak ada ruang kosong dalam kendaraan jiwa mereka yang tak terisi oleh kehendak dan azimah.
Perjuangan, bagi manusia-manusia agung itu, adalah sebuah instink yang sama kuatnya dengan instink lain dalam diri mereka. Sebab, kata sastrawan Mesir, Musthofa Shodiq Ar-Rofi’i, “Rupanya perjuangan itu mempunyai instink yang sanggup mengubah seluruh kehidupan ini menjadi kemenangan. Sebab setiap anak pikiran yang hinggap disitu, selalu langsung menjelma jadi pembunuh-pembunuh kekalahan”.
Mengeluh, dalam instink perjuangan mereka, hanyalah sepoi yang hendak merayu benteng obsesi mereka. Kelelahan, dalam tradisi keagungan mereka, bagai sebatang lilin yang ingin menghisap gelombang. Semua yang ada di permukaan bumi ini adalah tanah tempat kaki kebesarannya mengayuh derap langkah melewati hari-hari.
Dalam semangat perpacuan itu, semua tantangan yang mereka temui hanya berfungsi melahirkan bakat-bakat baru, kecerdasan-kecerdasan baru, kehendak-kehendak baru.
Inilah rahasia besar yang menyingkap tabir kebesaran sahabat, tabi’in serta ulama, zu’ama dan mujahidin besar yang pernah menggoreskan tinta emas dalam sejarah Islam kita. Banyak diantara mereka yang syahid dalam usia yang teramat muda. Imam al-Ghazali meninggal dalam usia 45 tahun, Umar bin Abdul Azis dalam usia 39 tahun, dan Hasan al Banna dalam usia 41 tahun. Tapi ‘usia’ mereka bagai memanjang mengikuti rentang panjang keabadian.
“Sebab ketika jiwa itu kosong, pikirannya akan lebih kosong. Ia akan terus mencari semua yang akan membuatnya lupa pada sang jiwa. Sedang manusia agung itu, hidup penuh sepenuh jiwanya,” kata Musthofa Shodiq Ar-Rofi’i. (sumber: inthilaq)
----------------------------
PKS Kreatif
www.pks-kreatif.com
Twitter: @pks_kreatif
Email: admin@pks-kreatif.com
Refleksi Tahun Baru Islam 1436 H

"AS-SIBAQ" (BERPACU)
Oleh: Anis Matta

Hidup adalah masa karya. Setiap kita diberi rentang waktu, yang kemudian kita sebut umur, untuk berkarya. Harga hidup kita, di mata kebenaran, ditentukan oleh kualitas karya kita. Maka sesungguhnya waktu yang berhak diklaim sebagai umur kita adalah sebatas waktu yang kita isi dengan karya dan amal. Selain itu, ia bukan milikmu.

Itulah undang-undang kebenaran tentang hakikat waktu. Kita bukan waktu yang kita miliki. Tapi kita adalah amal yang kita lakukan.

Dalam relung hakikat itulah Allah SWT menurunkan titahNya untuk ‘berpacu’ dan ‘berlomba’ dalam medan kehidupan (as-Sibaq). Hidup ini adalah jalan panjang yang harus kita lalui. Tak satupun diantara peserta kehidupan itu yang diberitahu dimana dan kapan ia harus berhenti. Sebab tempat perhentian pertama yang engkau tempati berhenti adalah ajalmu. Akhir masa karyamu.

Begitulah para sahabat dan semua manusia muslim yang agung dan besar yang pernah hadir di pelataran sejarah, memahami makna waktu dan hidup, serta melaluinya dengan semangat perpacuan yang tak pernah dapat digoda oleh kelelahan.

Apa yang mereka pakai adalah kendaraan jiwa yang seluruh muatannya adalah makna hidup itu sendiri, serta kehendak yang telah terwarnai oleh makna itu. Tak ada ruang kosong dalam kendaraan jiwa mereka yang tak terisi oleh kehendak dan azimah.

Perjuangan, bagi manusia-manusia agung itu, adalah sebuah instink yang sama kuatnya dengan instink lain dalam diri mereka. Sebab, kata sastrawan Mesir, Musthofa Shodiq Ar-Rofi’i, “Rupanya perjuangan itu mempunyai instink yang sanggup mengubah seluruh kehidupan ini menjadi kemenangan. Sebab setiap anak pikiran yang hinggap disitu, selalu langsung menjelma jadi pembunuh-pembunuh kekalahan”.

Mengeluh, dalam instink perjuangan mereka, hanyalah sepoi yang hendak merayu benteng obsesi mereka. Kelelahan, dalam tradisi keagungan mereka, bagai sebatang lilin yang ingin menghisap gelombang. Semua yang ada di permukaan bumi ini adalah tanah tempat kaki kebesarannya mengayuh derap langkah melewati hari-hari.

Dalam semangat perpacuan itu, semua tantangan yang mereka temui hanya berfungsi melahirkan bakat-bakat baru, kecerdasan-kecerdasan baru, kehendak-kehendak baru.

Inilah rahasia besar yang menyingkap tabir kebesaran sahabat, tabi’in serta ulama, zu’ama dan mujahidin besar yang pernah menggoreskan tinta emas dalam sejarah Islam kita. Banyak diantara mereka yang syahid dalam usia yang teramat muda. Imam al-Ghazali meninggal dalam usia 45 tahun, Umar bin Abdul Azis dalam usia 39 tahun, dan Hasan al Banna dalam usia 41 tahun. Tapi ‘usia’ mereka bagai memanjang mengikuti rentang panjang keabadian.

“Sebab ketika jiwa itu kosong, pikirannya akan lebih kosong. Ia akan terus mencari semua yang akan membuatnya lupa pada sang jiwa. Sedang manusia agung itu, hidup penuh sepenuh jiwanya,” kata Musthofa Shodiq Ar-Rofi’i. (sumber: inthilaq)

----------------------------

PKS Kreatif
www.pks-kreatif.com
Twitter: @pks_kreatif
Email: admin@pks-kreatif.com

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply