[Jokowi Tak Paham Konstitusi] Catatan Dari 3 Momentum 'Panas' Jokowi VS DPR


Sejarah mencatat hubungan eksekutif dengan legislatif memang selalu mengalami pasang surut. Hal itu lumrah terjadi, pasalnya dalam koridor tugas sebagai lembaga yang berdiri sama tinggi dengan eksekutif, lembaga legislatif memiliki tugas khusus untuk memeriksa dan menyeimbangkan kebijakan-kebijakan Presiden agar tiap kebijakan itu memiliki payung hukum konstitusi dan terutama tak memberatkan rakyat.

Namun sejarah kini juga mencatat, dalam jangka waktu sebulan setelah dilantik, Presiden Indonesia Joko Widodo telah  menorehkan perseteruan dengan lembala legislatif. Kondisi ini mungkin didasari oleh anggapan bahwa sebagai eksekutif, Jokowi lebih tinggi kedudukannya dan DPR RI sebagai lembaga legislatif memiliki posisi subordinat.

Ada 3 momen ‘panas’ antara Jokowi dan DPR RI. Apa sajakah itu?


1. Pengguliran Interpelasi tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)

Rencana anggota DPR untuk mengajukan hak bertanya (interpelasi) kepada Jokowi

didasari oleh banyak hal. Pertama, Jokowi menaikkan harga BBM jenis premium dan solar (BBM yang paling banyak dikonsumsi publik) ketika harga minyak dunia justru merosot jauh. Upaya interpelasi ini tak pernah terjadi pada pemerintahan yang sebelumnya karena eksekutif selalu berkonsultasi dengan DPR sebelum menaikkan harga BBM.

Politisi Golkar Bambang Soesatyo menekankan, kenaikan harga BBM harus sejalan dengan panduan yang tertulis dalam UU APBN.

"Syaratnya, bisa naik kalau harga BBM dunia naik menjadi US$ 105," jelas Bambang.

Hal inilah yang dilanggar oleh Jokowi. Sebab saat ini, harga BBM di berbagai belahan dunia sedang menurun drastis sebagai efek penurunan harga minyak dunia.

Sebagai catatan, jika DPR RI tak puas dengan jawaban Jokowi, DPR RI akan menggunakan hak berikutnya, yaitu hak angket (hak menyelidiki).


2. Larang Menteri ke DPR

Di tengah wacana pengguliran interpelasi oleh DPR, Rini Soemarno meminta DPR menunda Rapat Dengar Pendapat yang melibatkan dirinya sebagai Menteri BUMN dan seluruh jajaran di kementeriannya.

Usut punya usut, ternyata Jokowi melarang kabinetnya untuk menghadiri panggilan DPR. Larangan ini diwujudkan dalam bentuk surat edaran yang dikirim Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto kepada semua menteri. Alasan yang digunakan, adanya DPR tandingan yang diinisiasi oleh KIH, sehingga memberi kesan, DPR terbelah menjadi dua. Sebagai bawahan, Rini tentu taat kepada Jokowi.

"Pada dasarnya begini, ada dua kubu DPR. Kami berharap bisa bersatu jadi dapat berkomunikasi dengan baik," kata Rini.

Ketika dikonfirmasi mengenai larangan itu, Jokowi tak mengelak dan menjawab bahwa ia memang sengaja melarang para menteri ke DPR selain karena ada 2 kubu di DPR, para menteri pun baru sebulan bekerja..

"Biar di sana rampung, baru silakan rapat bersama," ujarnya. "Kan, menteri juga baru sebulan kerja, dipanggil-panggil apanya?"

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan larangan Jokowi itu akan berimbas pada terhambatnya program-program pemerintah sendiri.

"Mereka mau dapat anggaran dari mana? Memangnya mereka mau ketuk APBN-P sendiri di Istana?" ujar Fadli.

Fadli menambahkan, konstitusi jelas mencantumkan fungsi kontrol DPR kepada eksekutif. Jika tak mau dikontrol, berarti pemerintah mengingkari konstitusi. Oleh karenanya, tak ada alasan menteri menolak undangan DPR meskipun baru bekerja sebulan.

"Kalau sampai tiga kali tak datang, bisa dipanggil paksa," ujar Fadli.


3. DPR Menolak Calon Ketua KPK Usulan Pemerintah

Absennya Menkumham Yasonna H. Laoly dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) persiapan calon pemimpin KPK di kompleks parlemen Senin, 24 November 2014, dengan alasan harus menghadiri rapat dengan Jokowi di jam yang sama, menambah ketegangan hubungan DPR - Presiden.

"Dengan hormat kami sampaikan bahwa kami tidak dapat hadir pada rapat kerja dimaksud karena waktu yang bersamaan kami sedang menghadiri acara rapat terbatas dengan Presiden Republik Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya rapat kerja dimaksud dapat dijadwalkan kembali," tulis Yasonna dalam surat yang ditujukan kepada pemimpin DPR.

Meski Menkumham tak hadir, Ketua Komisi Azis Syamsuddin tetap menggelar rapat yang dihadiri beberapa anggota dan tim panitia seleksi (Pansel). Pansel kemudian mengumumkan dua nama calon pemimpin KPK. Yaitu Bussyro Muqoddas dan Roby Arya Brata.

"Berdasarkan surat keputusan presiden dan rapat paripurna, diputuskan dua nama itu," kata Amir.

Sejumlah anggota Komisi Hukum mempertanyakan sosok dua pimpinan KPK yang telah dipilih tim panitia seleksi dan disetujui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Masyarakat perlu tahu mengapa tiba-tiba ada dua orang hebat ini. Itu dulu keputusan presiden dan DPR lama, padahal kami yang baru juga perlu tahu," kata Ali Umri, anggota Komisi Hukum dari Partai NasDem.

Dengan alasan transparansi, Ali ingin agar pansel menggelar kembali seleksi dan membatalkan keputusan pemilihan pimpinan KPK terpilih, Busyro Muqoddas dan Roby Arya Brata. Sementara anggota komisi hukum dari Partai Gerindra Wihadi Wiyanto menyatakan, ketidakhadiran Menkumham bisa jadi menunjukkan ketidakseriusan Menteri menangani pemilihan ketua KPK.
.
"Ini Menteri Yasonna tak datang, berarti ada ketidakseriusan menteri menangani ini. Kita harus memilih ulang," tutur Wihadi.


Ketiga momen ini masih bisa bertambah panjang apabila Jokowi tak segera menyadari posisinya sebagai lembaga negara yang memiliki posisi sejajar dengan DPR. [*]

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply