Malumu Bagian dari Imanmu

Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)
Kisah kedekatan asmara antar sesama aktivis dakwah selalu menarik untuk diperbincangkan, kenapa saya katakan menarik karena mereka yang setiap pekannya berkumpul dalam satu lingkaran mengkaji ayat demi ayat, nyatanya belum mampu menahan diri dari manisnya godaan virus merah jambu. Rasa cinta memang manusiawi, namun jika diumbar sebelum waktunya, manusiawikah?

Seperti pagi ini, kisah dari seorang sahabat yang menceritakan kedekatan teman akhwatnya dengan salah satu kakak tingkatnya di sebuah kampus. Awal mulanya dari satu kepanitiaan organisasi, komunikasi yang intens, sering rapat apalagi kalau rapatnya sampai malam dengan dalih “afwan urgent tidak bisa ditunda sampai besok, harus dibicarakan malam ini juga”. Dari rapat turun ke hati, begitulah kira-kira. Kepanitiaan usai, namun ada rasa yang tertinggal. Kembali berdalih, nostalgia atau reuni kepanitiaan, pembubaran kepanitiaan. Kepanitiaan bubar, masih ada LPJ yang harus segera diselesaikan, sekretaris dan ketua pelaksana paling sibuk dalam hal ini, sibuk mengurusi kepanitiaan diam-diam ada rasa yang secara harus menyelinap ke dalam hati.

Subhanallah si fulan, tanggung jawab banget orangnya.

Subhanallah si fulanah sangat cekatan.

Dari rasa kagum turun ke hati.

LPJ selesai, kepanitiaan sudah dibubarkan, namun virus merah jambu justru mulai menyebar.

Awalnya hanya sekadar bertemu di café karena kebetulan. Lama-lama ngajak jalan bareng, sekali kepergok berdalih sedang membicarakan program kepanitiaan selanjutnya. Handphone yang awalnya biasa dipinjamkan mendadak jadi privasi yang enggan orang lain mengetahui isinya, apalagi jika sudah pinjam untuk nge-whatsapp wajahnya sudah penuh kekhawatiran. Sekali ditegur teman halaqah “syukron sudah mengingatkan, iya ana khilaf. Semoga ukhti faham ana juga sedang berproses jadi mohon bimbingannya”.

Sampai akhirnya pulang tengah malam, dibonceng pula. Kini kisah asmara aktivis ini bukan lagi sebuah rahasia melainkan sudah menjadi konsumsi publik, istilahnya tahu sama tahu.
Bagitukah kelakuan yang menamakan dirinya aktivis dakwah, yang dalam setiap pekannya hadir dalam lingkaran majelis ilmu, mengkaji Al-Quran dan mengatakan ingin memperbaiki diri. Lantas bagaimana orang di luar sana yang dalam setiap pekannya tidak berada dalam lingkaran majelis ilmu, jika yang berada dalam lingkaran majelis ilmu saja kelakuannya seperti ini.

Rasa cinta memang tak harus kita salahkan karena itu fitrah, namun bagaimana kita menyikapinya, itu yang harus berbeda antara seorang aktivis dakwah dengan orang yang bukan aktivis dakwah. Saya teringat kisah Ali dan Fatimah yang sama-sama memendam rasa cinta, namun mereka tak pernah mengumbar cintanya sampai akhirnya Allah persatukan keduanya dalam ikatan cinta yang agung.

Ataukah sudah tidak adalagi rasa malu dalam diri kita, jika sedikit saja ada rasa malu dalam diri ini tentulah akan berpikir beribu-ribu kali untuk menerima ajakan jalan bareng dan boncengan dari seorang ikhwan. Kita akan berpikir, betapa malunya seandainya ada orang yang melihat jilbaber boncengan dengan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya. Namun, jika rasa malu itu telah hilang dalam diri kita “terserah lah orang mau menilai apa, saya ya ini apa adanya”. Pantaslah dalam salah satu Haditsnya Rasulallah mengatakan bahwa “malu sebagian dari iman”, tentunya malu dalam hal bermaksiat kepada-Nya. Bersyukurlah di antara kita yang masih punya malu, malu karena bermaksiat kepada-Nya, malu karena seorang aktivis dakwah harusnya menjadi teladan bagi yang lain, malu karena begitu banyak kerja dakwah ini yang belum kita selesaikan namun kita terlena oleh cinta yang semu.
Waalahua’lam.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/10/24/58913/malumu-bagian-dari-imanmu/#ixzz3HEgeRD00 

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply