JAKARTA, KOMPAS.com - Ujian perdana telah menanti pemerintahan baru Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), yakni regulasi harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Banyak yang menilai subsidi BBM sebagai bisul dan bahkan tumor bagi anggaran negara. Kenaikan harga BBM bersubsidi dipandang sebagai operasi pengangkatan tumor serta upaya penyehatan kembali anggaran negara.
Di sisi lain, efek kenaikan harga BBM, apalagi sampai Rp 3.000 per liter, bisa menjalar kemana-mana. Mulai dari lonjakan inflasi, kemiskinan bahkan masalah sosial. Boleh jadi lantaran ruwetnya urusan BBM bersubsidi, pemerintah baru tak mau terburu-buru memutuskannya.
Menko Ekonomi Perekonomian Sofyan Djalil, hanya berjanji, tim ekonomi kabinet baru segera membahas rencana kenaikan harga BBM. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, juga belum bisa memastikan waktu kenaikan harga BBM pada tahun ini atau tahun depan. "Kami ingin pertumbuhan ekonomi tak terkoreksi terlalu dalam," kata Bambang, kemarin.
Sejumlah ekonom menyarankan agar kenaikan harga BBM bersubsidi ditunda hingga awal tahun 2015. Pertimbangannya, lebih banyak mudarat daripada manfaatnya jika harga BBM naik 1 November 2014.
Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Aset Manajemen, misalnya, menghitung, jika harga BBM naik Rp 3.000 per liter, inflasi bertambah 3,5 persen. Untuk mengerem liarnya inflasi, pemerintah baru harus bisa memastikan kecukupan stok pangan, serta program sosial yang bisa mempertahankan daya beli masyarakat.
Tanpa langkah-langkah itu, daya beli masyarakat akan tergerus dan pertumbuhan ekonomi melemah. Padahal, tanpa kenaikan harga BBM pun, hitungan Lana, ekonomi Indonesia tahun ini hanya tumbuh 5,1 persen-5,2 persen, jauh dari target sebesar 5,5 persen.
Alhasil, Lana dan Ekonom Indef, Eni Sri Hartati, menyarankan, awal tahun 2015 adalah waktu tepat menaikkan harga BBM. Dalam sisa terakhir tahun ini, pemerintah bisa mempersiapkan stok bahan pangan. "Jangan tergesa-gesa, ini ujian pertama bagi pemerintah baru. Kalau tidak lulus, kepercayaan runtuh," kata Lana, mengingatkan.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, berpendapat lain. Lebih baik harga BBM naik secepatnya. Memang, dampak kenaikan harga BBM tak berdampak positif bagi ekonomi tahun ini, malah bisa menggerus ekonomi. Tapi dampak positif terasa besar pada masa-masa mendatang. Anggaran negara lebih hemat, sehingga bisa dipakai membangun jalan, sekolah, bendungan, maupun membiayai program Indonesia Sehat dan Indonesia Pintar.
Tidak ada komentar: