Jurnalis investigasi Allan Nairn mengingatkan, Jokowi harus berhati-hati terhadap calon-calon menteri yang berasal dari tokoh militer.
Allan menilai kasus pelanggaran HAM yang dilakukan calon-calon menteri dari militer adalah catatan hitam dan Presiden Joko Widodo pun dinilai tidak akan berdaya menghadapi tuntutan atas kasus HAM mereka.
"Jika sang presiden bersungguh-sungguh dengan niat kabinet bersih itu, sudah selayaknya ia membuka mata untuk tanda merah yang lebih penting: tanda merah yang bersumber dari aktivitas-aktivitas terkait pembunuhan warga sipil, mulai dari justifikasi atas pembunuhan yang dilakukan negara hingga tindakan membunuh itu sendiri,"tulis Allan, Selasa, 21 Oktober 2014.
Allan kemudian memaparkan nama-nama sejumlah tokoh militer yang berada di lingkaran Jokowi. Ia menilai orang-orang tersebut besar kemungkinan menjadi menteri di kabinet Jokowi.
"Jenderal (purn) AM Hendropriyono, yang menemui Jokowi di Istana Negara hari ini (21 Oktober 2014), terlibat dalam pembantaian berskala besar (di Talangsari), kampanye pembersihan dan teror yang tergolong dalam kejahatan perang (Timor Timur tahun 1999), serta pembunuhan pahlawan Hak Asasi Manusia, Munir.
Dalam masing-masing kasus, namanya telah diajukan untuk diproses secara pidana. Namun, Hendropriyono selalu berhasil mengelak," kata Allan.
Allan juga menceritakan keterlibatan bawahan Hendropriyono dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.
As'ad, dikatakan Allan, menjadi tangan kanan Hendropriyono di BIN, terlibat pembunuhan Munir, sebagaimana disebutkan oleh sebuah kesaksian di pengadilan yang menyatakan bahwa As'ad turun langsung mengatur agar pelaku pembunuhan berada di dekat Munir.
"Keterangan-keterangan dari polisi yang bersumber dari pernyataan-pernyataan orang-orang intelijen yang bekerja untuk Hendro dan As'ad juga menegaskan bahwa As'ad hadir dalam rapat yang dipimpin oleh Hendro, di mana mereka merencanakan pembunuhan Munir," papar Allan.
Tak cukup sampai di situ, Allan juga memberi catatan kepada Jendral (purn) Wiranto. Ia menilai Wiranto--yang oleh jaksa penuntut yang disponsori PBB-- didakwa untuk keterlibatannya dalam operasi pembantaian, pemerkosaan, dan kampanye pembumihangusan di Timor Timur pada tahun 1999.
Allan bercerita pada tahun sebelumnya (1998), sebuah aksi protes pro-demokrasi besar-besaran berhasil digagalkan Wiranto.
Waktu itu, rangkaian demontrasi yang mencapai klimaksnya batal setelah Wiranto mengancam akan "men-Tiananmen-kan" para demonstran.
Jendral (purn) Ryamizard Ryacudu pun tak luput dari perhatiannya. Ia menilai Ryamizard memainkan peran kunci dalam kudeta de facto terhadap Presiden Gus Dur di tahun 2001.
"Ia mengawasi dan memberi instruksi selama operasi-operasi militer di Aceh yang melibatkan pembantaian massal terhadap warga sipil. Tak lupa, para tentara yang membunuh Theys Eluay (pemimpin gerakan sipil Papua) dijuluki Ryamizard sebagai "pahlawan".
Menanggapi pertanyaan pers tentang pembantaian anak-anak di Aceh, Ryamizard mengatakan bahwa perempuan dan anak-anak bisa sama berbahayanya.
Dalam berbagai kesempatan Ryamizard terkesan cuci tangan dan menyatakan, "Kalau saya menyuruh orang membeli pisang goreng dan orang itu malah tertangkap basah mencuri pisang goreng atau mencuri uang untuk beli pisang goreng, apakah saya juga ikut-ikutan dihukum?" (Time magazine, June 2, 2003 issue)," papar Allan lagi.
Karena itu, Allan mengingatkan Jokowi agar berhati-hati terhadap orang-orang tersebut. Allan berharap Jokowi dapat menjadikan kasus-kasus HAM sebagai tolok ukur bersih tidaknya kabinet yang dibuat, bukan sekedar dari kasus korupsi semata.
"Orang-orang ini (dan banyak lagi yang seperti mereka) dekat dengan Jokowi dan atau partainya. Mereka adalah calon yang kekuatannya melampaui kekuasaan yang telah mereka genggam selama ini. Apakah Jokowi akan menyeret mereka ke pengadilan, atau Jokowi akan mendudukkan mereka di Istana? Atau, akankah Jokowi memberikan jabatan kepada para perwakilan mereka?" ucap Allan.
Lebih jauh, Allan mewanti-wanti agar Jokowi tidak memberikan para purnawirawan jendral itu duduk di pemerintahan. Ia pun mengingatkan Jokowi, jika menempatkan mereka di pemerintahan maka Jokowi pun layak diberi tanda merah.
"Jika sang presiden melindungi atau mempromosikan pembunuh, akan ada tanda merah di samping nama Jokowi," tutup Allan. (fs/piyungan)
Tidak ada komentar: