Oleh: Miftah al-Banjary
Harun ibn ‘Abdillah,
seorang ulama ahli hadis yang juga pedagang kain di kota Baghdad
bercerita: Suatu hari, saat malam beranjak larut, pintu rumahku di
ketuk. “Siapa?” tanyaku. “Ahmad,” jawab orang di luar pelan. “Ahmad yang
mana?” tanyaku makin penasaran.
“Ibn Hanbal,” jawabnya pelan. "Subhanallah,
itu guruku!" kataku dalam hati. Maka kubuka pintu. Kupersilakan beliau
masuk dan kulihat beliau berjalan berjingkat, seolah tak ingin terdengar
langkahnya.
Saat kupersilakan untuk duduk, beliau menjaga agar
kursinya tidak berderit mengeluarkan suara. “Wahai guru, ada urusan yang
penting apakah sehingga dirimu mendatangiku selarut ini?”
“Maafkan
aku ya Harun. Aku tahu biasanya engkau masih terjaga meneliti hadis
selarut ini, maka aku pun memberanikan diri mendatangimu. Ada hal yang
mengusik hatiku sedari siang tadi.” Aku terkejut. Sejak siang?
“Apakah
itu wahai guru?” “Mmmm begini!” Suara Ahmad ibn Hanbal sangat pelan,
nyaris berbisik. “Siang tadi aku lewat di samping majelismu, saat engkau
sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan murid-muridmu terkena terik
sinar mentari saat mencatat hadis-hadis, sementara dirimu bernaung di
bawah bayangan pepohonan. Lain kali, janganlah seperti itu wahai Harun!
Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk!”
Aku tercekat, tak mampu berkata. Maka beliau berbisik lagi, mohon pamit, melangkah berjingkat dan menutup pintu hati-hati. Masya Allah! Inilah guruku Ahmad ibn Hanbal, begitu mulianya akhlak beliau dalam menyampaikan nasehat.
Beliau
bisa saja meluruskanku langsung saat melintasi majelisku. Tapi itu
tidak dilakukannya demi menjaga wibawaku di hadapan murid-muridku.
Beliau juga rela menunggu hingga larut malam agar tidak ada orang lain
yang mengetahui kesalahanku.
Bahkan beliau berbicara dengan suara
yang sangat pelan dan berjingkat saat berjalan, agar tak ada anggota
keluargaku yang terjaga. Lagi-lagi demi menjaga wibawaku sebagai imam
dan teladan bagi keluargaku.
Dari kisah di atas, kita bisa
belajar bagaimana arifnya Ahmad bin Hanbal; seorang imam mazhab
menyampaikan nasihat kepada muridnya sendiri. Nasihat bukan menunjukkan
diri yang paling benar. Nasihat bukan untuk menunjukkan eksistensi diri
atau arogansi.
Seringkali kita melupakan etika dalam menyampaikan
nasehat. Nasehat hanya bisa diterima oleh hati yang benar-benar
menginginkan kebaikan bagi orang yang dinasehatinya.
Jika
nasehat yang disampaikan hanya untuk mempermalukan diri orang lain,
niscaya nasehat tak lebih hanya akan menjadi bibit kebencian dan
permusuhan.
Teringat perkataan Imam Asy Syafi’i, “Nasihati aku
saat sendiri, jangan di saat ramai dan banyak saksi. Sebab nasehat di
tengah khalayak, terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak; maka
maafkan jika hatiku berontak.”(republika.co.id)
Ini Etika Menasihati
Related News
Tidak ada komentar: