BBM Tak Perlu Naik Jika Jokowi Sikat Mafia Migas


Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang semula dilakukan November 2014, dipastikan batal dilakukan. Pemerintah kini tengah fokus pada program perlindungan sosial terlebih dahulu. Program dimaksud adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pelajar (KIP).

Kepastian rencana kenaikan harga BBM yang tidak dilakukan di bulan November itu disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). "Yang pasti bukan bulan November. Nanti kita bahas dulu," kata Wapres JK saat memimpin rapat kabinet terbatas di kantor Wapres, Rabu (29/10/2014).

Keterangan Wapres JK itu diperkuat Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro. Menkeu mengatakan, kenaikan harga BBM itu yang pasti akan dilakukan sebelum 2015. "Pokoknya kenaikan (BBM) sebelum 1 januari 2015," tegas Bambang di lokasi sama.

Meski pemerintahan Jokowi sudah positif bakal menaikkan harga BBM. Namun ekonom senior Dr Rizal Ramli justru tidak sependapat dengan kenaikan itu. Dia meminta pemerintahan baru diharapkan mau menyelesaikan masalah dengan cara cerdas.

Khusus soal subsidi BBM, misalnya, ada sejumlah langkah cerdas yang bisa ditempuh untuk menyelematkan APBN tanpa harus menaikkan harga BBM yang pasti menambah berat beban rakyat.

“Pemerintah baru harus berani mengambil kebijakan terobosan. Jangan terlalu sibuk dengan hal-hal hilir. Soal upah buruh, subsidi listrik, dan BBM, misalnya, bisa diselesaikan dengan membenahi di sisi hulunya,” ujar Rizal Ramli dihubungi Harian Terbit, Rabu (29/10/2014).

Menurut Rizal Ramli, ada sejumlah pertanyaan penting yang harus dijawab oleh Presiden Joko Widodo dan tim ekonomi di Kabinet Kerja sebelum memutuskan kenaikan harga BBM.

Misalnya, mengapa di saat harga minyak mentah dunia turun dari 110 dolar AS per barel menjadi 80 dolar AS per barrel, pemerintah mau menaikkan BBM dalam negeri?

Juga, apakah adil menaikkan BBM tetapi tidak berani memberantas mafia migas yang merugikan negara puluhan trilliun rupiah? Padahal, di masa kampanye lalu, Jokowo kerap mengatakan dirinya akan memberantas segala macam mafia, termsuk mafia migas.

“Apakah adil menaikkan harga BBM tapi tidak berani dan tidak bisa menekan biaya cost recovery yang merugikan negara lebih dari Rp 60 trilliun? Apakah adil menaikkan harga BBM, sementara negara membayar subsidi bunga obligasi BLBI Rp 60 trilliun per tahun kepada pemilik bank kaya sampai 20 tahun yang akan datang?” tanya Rizal Ramli lewat akun Twitternya, @ramlirizal malam ini (Rabu, 29/10).

Mantan Menko Perekonomian yang sekarang bertugas sebagai Panel Ahli PBB itu juga bertanya, apakah adil menaikkan harga BBM, sementara pemerintah tidak melakukan langkah konkret membangun fasilitas pengolahan yang dapat mengurangi biaya produksi BBM sebesar 50 persen, plus menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat.

Rizal Ramli menyimpulkan, kalau memang ingin melakukan revolusi mental, maka seharusnya pemerintah mengubah cara memandang persoalan BBM. Bukan sekadar melihat persoalan  di hilir berupa harga BBM yang dinilai masih dapat dinaikkan.

Tetapi, juga melihat ke persoalan hulu yang berkaitan dengan penyebab krisis BBM di dalam negeri. Empat persoalan utama di sektor minyak dan gas, sebutnya lagi, pertama mafia migas yang berpraktik dengan bebas, diikuti KKN di kalangan pengusaha yang mendapatkan hak khusus dengan anasir di dalam tubuh pemerintahan yang memiliki bentukan kepentingan dengan kebijakan umum di sektor migas. Penyebab keempat, sambungnya adalah cost recovery BBM.

Dihubungi terpisah, pengamat  ekonomi  Institute for Development and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati  menyatakan, momentum yang  tepat untuk menaikkan harga BBM adalah pada  Februari  hingga Maret 2015.

"Momen yang pas untuk menaikkan  harga BBM subsidi di Februari hingga Maret 2015," kata Enny kepada HarianTerbit, Rabu (29/10/2014).

Menurut Enny, apabila kenaikan harga BBM subsidi dilakukan pada November tahun ini akan berdampak pada  melambatnya pertumbuhan ekonomi. Sebab, tidak ada kenaikan BBM subsidi pun inflasi di November hingga  Desember  cukup tinggi.

"Adanya kenaikan BBM di November, maka dampak inflasi lebih besar dari naturalnya. Dan pertumbuhan ekonomi bisa jadi tidak sampai 5,8 persen," ujarnya.

Persoalan rencana kenaikan harga BBM secara khusus dibahas di rapat kabinet terbatas di kantor Wapres. Dalam rapat itu Jusuf Kalla mengatakan, subsidi BBM perlu dipangkas dengan menaikkan harga.

"Kami harap masyarakat paham, bahwa kenaikan BBM nanti juga bertujuan demi kesejahteraan rakyat. Jadi bukan kita bicara kenaikan, tapi akan memindahkan subsidi konsumtif ke subsidi produktif," kata JK di kantor Wapres, Jakarta, Rabu (29/10/2014).

Ia pun tak menyebut berapa besaran kenaikan itu. Walau banyak spekulasi di publik, kenaikan diperkirakan antara Rp2.000 hingga Rp3.000/liter.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said menyatakan, belum ada kepastian mengenai  kapan realisasi dari rencana kenaikan tersebut. Namun ia  menekankan, rencana kenaikan tersebut akan terealisasi setelah Pemerintah menjalankan program kartu  sehat  dan kartu pintar.

“Jadi akan ada penggeseran subsidi. Yakni  dari  Subsidi BBM yang biasanya dinikmati oleh yang tidak berhak, akan dialihkan kepada orang yang berhak," kata Sudirman di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (29/10/2014).

Pengamat Kebijakan Energi, Sofyano Zakaria menyatakan pemerintah memang sudah seharusnya menaikkan harga BBM bersubsidi.

Namun begitu, Jokowi yang menggadang-gadang program pro rakyat akan mendapat reaksi dari masyarakat Indonesia. Karena mereka terbiasa dengan harga premium yang murah (Rp6.500 per liter). Sementara, posisi  koalisi Indonesia Hebat pendukung  Pemerintahan Jokowi, kalah jumlah dengan koalisi Merah Putih (KMP) dalam Parlemen. Sehingga dengan menaikkan harga BBM akan menuai kritikan tajam.

Untuk itu dalam menaikkan BBM Bersubsidi harus diimbangi dengan pengalihan subsidi BBM kepada program-program yang bersentuhan langsung terhadap kepentingan rakyat banyak. Sehingga masyrakat dapat betul-betul merasakan manfaat dari pengalihan subsidi tersebut.

Ahli Ekonomi Aviliani juga mengungkapkan, Pemerintahan Jokowi harus mengendalikan pengguna BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Saat ini, masyarakat kelas bawah yang seharusnya menikmati BBM subsidi hanya sebesar delapan persen. Angka ini dihitung dari penggunaan BBM untuk kendaraan umum.

"Sekarang  pengguna mobil 40 persen menggunakan subsidi BBM. Minimal kalau kita enggak berani menaikkan total, yang 40 persen saja. Itu sudah bisa menghemat," ujar Aviliani.
(Barliana/Fajar/Tian/Luki)

Sumber: Harianterbit.com/piyungan

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply