Oleh : M Fuad Nasar
Diriwayatkan dari Jabir RA, ''Sekali peristiwa kami bersama Rasulullah pada pagi hari di Madinah, tiba-tiba datang serombongan orang berpakaian compang-camping. Tampak saat itu kesedihan di wajah Rasulullah lantaran melihat kesengsaraan mereka.
Rasulullah kemudian masuk ke dalam rumah dan keluar kembali, lalu menyuruh Bilal mengumandangkan azan dan ikamah, kemudian beliau memimpin shalat.''
''Selesai shalat, Rasulullah berpidato, 'Hai sekalian manusia, hendaklah setiap orang menyedekahkan sebagian dari dinarnya, sebagian dari dirhamnya, sebagian dari pakaiannya, segantang dari gandumnya, dari segantang kurmanya, biarpun dengan sekeping kurma.'''
Berkata Jabir selanjutnya, ''Maka, datanglah seorang laki-laki dari golongan ansar membawa sebuah pundi yang hampir-hampir tangannya tidak kuat membawanya. Kemudian orang banyak membawa pakaian dan makanan, sehingga aku melihat dua tumpukan terdiri atas makanan dan pakaian, aku melihat uang yang banyak sekali, dan kulihat wajah Rasulullah berseri-seri bagaikan sesuatu bersepuh emas layaknya.''
Sambil menyerahkan bantuan yang terkumpul saat itu, Rasulullah bersabda, ''Barang siapa membuat suatu aturan yang baik, maka baginya pahala ditambah dengan pahala orang-orang yang menjalankan aturan itu di belakangnya, dengan tidak dikurangi sedikit pun dari pahala mereka.'' (HR Muslim).
Dari cuplikan peristiwa di atas, terdapat ajaran yang sangat penting seputar tanggung jawab kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasulullah, yakni menggerakkan orang-orang yang berkecukupan supaya menginfakkan hartanya dalam keadaan yang mengharuskan mereka berbuat demikian. Dalam kondisi seperti itu, kaum Muslimin tidak lagi berhitung soal zakat, tetapi yang diterapkan adalah infak atas dasar keikhlasan yang "diwajibkan" sewaktu-waktu saat keadaan memaksa.
Bagian yang diterima oleh fakir-miskin bukan suatu belas kasihan, melainkan hak yang telah ditentukan melalui mekanisme yang digerakkan oleh negara. ''Demi Allah, andaikata mereka tak mau menyerahkan kepadaku seutas tali unta yang dahulu diserahkan kepada Rasulullah, niscaya mereka kuperangi karena-Nya,'' demikian ditegaskan oleh Abu Bakar Siddik selaku kepala negara Islam di abad pertama Hijriyah.
Ulama besar kelahiran Andalusia (Spanyol), Ibnu Hazm al-Andalusy berpendapat bahwa kemiskinan hanya dapat diatasi dengan kesediaan orang-orang kaya memberikan hak orang miskin yang diamanatkan Allah kepadanya. Ibnu Hazm mengutip sebuah hadis bahwa ada hak-hak fakir miskin selain zakat yang harus dikeluarkan oleh orang-orang kaya. Apabila zakat tidak mencukupi sebagai jaminan sosial bagi masyarakat yang tidak mampu, maka ulil amri (pemerintah) diberi hak untuk memungut pajak sosial lainnya dari orang-orang kaya.
Jika ajaran Islam dilaksanakan secara kafah dan konsekuen oleh umatnya, baik selaku anggota masyarakat maupun ulil amri yang memegang amanah kekuasaan, maka tak akan ditemukan seorang fakir pun yang menahan lapar di antara warga masyarakat lainnya yang hidup berkecukupan. Tak akan ada orang miskin yang telantar. Penduduk yang tak punya tempat tinggal karena sangat miskinnya atau kehilangan kesempatan membina keluarga, atau terlunta di hari tuanya. (republika.co.id)
Diriwayatkan dari Jabir RA, ''Sekali peristiwa kami bersama Rasulullah pada pagi hari di Madinah, tiba-tiba datang serombongan orang berpakaian compang-camping. Tampak saat itu kesedihan di wajah Rasulullah lantaran melihat kesengsaraan mereka.
Rasulullah kemudian masuk ke dalam rumah dan keluar kembali, lalu menyuruh Bilal mengumandangkan azan dan ikamah, kemudian beliau memimpin shalat.''
''Selesai shalat, Rasulullah berpidato, 'Hai sekalian manusia, hendaklah setiap orang menyedekahkan sebagian dari dinarnya, sebagian dari dirhamnya, sebagian dari pakaiannya, segantang dari gandumnya, dari segantang kurmanya, biarpun dengan sekeping kurma.'''
Berkata Jabir selanjutnya, ''Maka, datanglah seorang laki-laki dari golongan ansar membawa sebuah pundi yang hampir-hampir tangannya tidak kuat membawanya. Kemudian orang banyak membawa pakaian dan makanan, sehingga aku melihat dua tumpukan terdiri atas makanan dan pakaian, aku melihat uang yang banyak sekali, dan kulihat wajah Rasulullah berseri-seri bagaikan sesuatu bersepuh emas layaknya.''
Sambil menyerahkan bantuan yang terkumpul saat itu, Rasulullah bersabda, ''Barang siapa membuat suatu aturan yang baik, maka baginya pahala ditambah dengan pahala orang-orang yang menjalankan aturan itu di belakangnya, dengan tidak dikurangi sedikit pun dari pahala mereka.'' (HR Muslim).
Dari cuplikan peristiwa di atas, terdapat ajaran yang sangat penting seputar tanggung jawab kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasulullah, yakni menggerakkan orang-orang yang berkecukupan supaya menginfakkan hartanya dalam keadaan yang mengharuskan mereka berbuat demikian. Dalam kondisi seperti itu, kaum Muslimin tidak lagi berhitung soal zakat, tetapi yang diterapkan adalah infak atas dasar keikhlasan yang "diwajibkan" sewaktu-waktu saat keadaan memaksa.
Bagian yang diterima oleh fakir-miskin bukan suatu belas kasihan, melainkan hak yang telah ditentukan melalui mekanisme yang digerakkan oleh negara. ''Demi Allah, andaikata mereka tak mau menyerahkan kepadaku seutas tali unta yang dahulu diserahkan kepada Rasulullah, niscaya mereka kuperangi karena-Nya,'' demikian ditegaskan oleh Abu Bakar Siddik selaku kepala negara Islam di abad pertama Hijriyah.
Ulama besar kelahiran Andalusia (Spanyol), Ibnu Hazm al-Andalusy berpendapat bahwa kemiskinan hanya dapat diatasi dengan kesediaan orang-orang kaya memberikan hak orang miskin yang diamanatkan Allah kepadanya. Ibnu Hazm mengutip sebuah hadis bahwa ada hak-hak fakir miskin selain zakat yang harus dikeluarkan oleh orang-orang kaya. Apabila zakat tidak mencukupi sebagai jaminan sosial bagi masyarakat yang tidak mampu, maka ulil amri (pemerintah) diberi hak untuk memungut pajak sosial lainnya dari orang-orang kaya.
Jika ajaran Islam dilaksanakan secara kafah dan konsekuen oleh umatnya, baik selaku anggota masyarakat maupun ulil amri yang memegang amanah kekuasaan, maka tak akan ditemukan seorang fakir pun yang menahan lapar di antara warga masyarakat lainnya yang hidup berkecukupan. Tak akan ada orang miskin yang telantar. Penduduk yang tak punya tempat tinggal karena sangat miskinnya atau kehilangan kesempatan membina keluarga, atau terlunta di hari tuanya. (republika.co.id)
Tidak ada komentar: