Para Penghuni Kapal Selam | Oleh: Cahyadi Takariawan

Sudah lama saya tidak menyaksikan pentas teater. Bukan saja karena alasan 'tidak sempat' atau karena 'sok sibuk', namun memang sudah sangat jarang pementasan teater. Kalah oleh budaya instan berupa tontonan di televisi maupun youtube.

Dulu saya pecinta teater N. Riantiarno atau Teater Koma, namun dimana mereka kini pentasnya? Dulu saya penggemar Teater Gandrik, dengan tampilan atraktif Butet Kertaredjasa, Heru Kesawamurti, Djaduk Feriyanto dan kawan-kawan. Namun tak terdengar lagi berita mereka.

Demikian juga Zak Sorga dengan Teater Kanvas-nya yang pernah leliling Indonesia menjelang reformasi. Sudah tidak terdengar gegap gempintanya lagi. Pertunjukan teater semakin langka karena semakin digerus oleh budaya tontonan instan.

Maka begitu mendengar berita Teater Kanvas mengadakan pentas lagi, saya segera menyambutnya. Walau pentas di Gedung Kesenian Jakarta, sementara saya tinggal di Yogyakarta, saya tetap bertekad menontonnya. 

Alhamdulillah saya berkesempatan mendapatkan kehormatan untuk menyaksikan pertunjukan itu. Sebuah pentas teater bertajuk Penghuni Kapal Selam digelar tanggal 21 - 23 Oktober 2014 di GKJ Jakarta Pusat. Saya bersama enam ikhwah ikut menyaksikannya tadi malam, Rabu 22 Oktober 2014 jam 20.00 hingga 22.30 wib.

Gedung berkapasitas limaratusan penonton tampak penuh dan padat. Saya menonton bersama pak Muhammad Haris (wakil Walikota Salatiga), dan rombongan para trainer dari TrustCo Institute, ada mas Boedi Dewantoro, Setiaji HS,  Endri N. Laksana, Amin Ak dan Listyo Nugroho.

Dialog Ideologis dalam Pentas Teater

Zak Sorga memang luar biasa. Sebuah dialog yang sangat ideologis dan 'berat' mewarnai sepanjang durasi pertunjukan, namun ia tidak kehilangan selera humor yang tetap membuat penonton merasa segar.

Dari kegelapan penjara bawah tanah kita diajak berkenalan dengan karakter para penghuninya. Dengan cepat penonton akrab dengan karakter yang diperkenalkan satu persatu.

Di sana ada ustadz Abdul Ghofar, seorang aktivis dakwah senior yang teguh pendirian. Ia sedikit bicara namun menjadi orang yang paling ditakuti oleh para sipir dan tahanan lainnya. Di dalam penjara ia sangat rajin solat.

Di sana ada Abdul Muthalib, seorang politikus tua yang stres berat karena dipenjara bertahun-tahun. Ia selalu menggedor-gedor pintu sel, sambil mengacungkan pisaunya dan berteriak-teriak ingin membunuh orang yang telah menangkapnya. 

Jerio adalah orator dan politisi yang ambisius, selalu bermimpi menjadi orang besar yang akan memimpin negeri. Yon adalah aktivis dakwah, dipenjara sejak muda, wajahnya bopeng akibat siksaan oleh para sipir.

Kukuh adalah mahasiswa semester satu yang ditangkap aparat saat ikut demonstrasi. Ia separuh gila akibat siksaan saat diinterogasi, ia selalu ketakutan dan terus berlari-lari karena merasa dikejar-kejar oleh kopral.

Pi’i adalah tukang es yang ditangkap aparat saat ia berjualan es di tengah keramaian demonstrasi. Prawoto adalah mantan perampok yang ingin bertobat, tapi malah diciduk dan dijebloskan dalam penjara.

Sokle adalah tukang bengkel elektronik yang dipenjara karena tuduhan sebagai penggerak massa, kakinya lumpuh akibat siksaan. Ada pula si Kutu Buku, seorang tahanan yang pendiam dan misterius.

Namun kita juga dikenalkan dengan sang Sipir, merasa berkuasa dan kuat dengan mengintimidasi para tahanan, namun dalam hati bertanya siapa yang terpenjara. Juga karakter Juru Runding yang berpenampilan perlente, pintar sekaligus licik.

Membuat Pilihan Sikap

Ternyata naskah awalnya berjudul "Melawan Arus', sudah ditulis pada tahun 1999 sebagai respon atas kondisi sebuah negeri dimana tiran dan rezim berkuasa dengan semena-mena menindas rakyat.

Di dalam penjara bawah tanah itu para tahanan berusaha memecahkan berbagai macam persoalan kehidupan yang amat sangat gelap tanpa kejelasan. Mereka banyak berdiskusi tentang pemikiran maupun ideologi masing-masing tahanan. Mulai dari pemikiran pedagang es sampai pemuka agama.

Pentas Penghuni Kapal Selam berdurasi sekitar dua jam, secara umum  enak untuk ditonton dan dinikmati. Permainan para aktor, tempo dan irama pertunjukan terjaga dengan baik dari awal sampai akhir. Sangat sedikit kesalahan pengucapan oleh para pemain.

Kendati minim 'asesoris' panggung, namun justru mampu menampilkan kebekuan kehidupan bawah tanah yang sangat mengerikan. Pi'i tidak pernah bisa mengingat berapa lama mereka telah berada di dalamnya. Sokle bahkan tidak mengingat nama aslinya.

Namun ustadz Abdul Ghofar selalu konsisten memegangi prinsip kebenaran. Juru runding dan sipir penjara tidak pernah mampu melunakkan pendiriannya. Semua yang dilakukan sipir tidak bisa mengubah cara pandang dan sikap sang ustadz.

Sampailah kepada titik keputusasaan sipir. "Sebenarnya siapa yang dipenjara? Dia atau aku? Aku lelah karena tidak mampu mengalahkannya", ungkap sipir sembari menyatakan pengunduran dirinya dari tugas penjaga penjara.

Kita diajak mengenal ketegaran ustadz Abdul Ghofar yang sangat menjaga ibadah selama di dalam penjara. Kita diajak mengenal kerapuhan politisi Jerio yang berusaha tampak tegar namun ternyata memiliki kepribadian sangat rapuh.

Kita merasa kasihan dengan Kukuh. Mahasiswa semester satu ini tidak kuat menghadapi kerasnya siksaan sang kopral. Para penonton akan mudah mengingat dialog Kukuh dengan Kopral, bahkan menjadi salah satu ingatan yang dibawa pulang oleh penonton sampai di rumah.

"Kasihani saya Pak. Saya baru semester satu. Banyak tugas kuliah saya. Kopral pasti punya adik juga kan? Apa? Adik kopral juga seorang kopral? Kakak kopral juga seorang kopral? Bapak kopral juga seorang kopral?"

Mereka adalah orang-orang tidak bersalah yang dijebloskan ke dalam penjara tanpa kejelasan. Kita diajak merenung, bahwa penjara tidak selalu menjadi tempat orang-orang yang bersalah. Bahkan orang sebaik Abdul Ghofar pun masuk penjara.

Rakyat kecil yang tidak mengerti politik seperti Pi'i dan Sokle juga masuk penjara. Lengkap sudah kekejaman rejim yang berkuasa di negeri itu.

Namun akhirnya ketegaran ustadz Abdul Ghofar layak dijadikan pilihan sikap bagi kita semua. Semua orang harus memiliki pilihan sikap dalam menjalani kehidupan. Piihan apapun, itulah yang akan menentukan dan menunjukkan hati diri kita sesungguhnya.

Zak Sorga sebagai sutradara mampu mengolah dialog secara apik dengan pesan-pesan yang mudah ditangkap. Pertunjukanenjadi sangat hidup karena didukung para pemain handal seperti Nursaid Saputra, Jimmy Johansyah, Uche Ismail, Bambang Wahyudi, Sapto Wibowo, Risdo Alaro, Ali Badri, Achmad Fadhilah, Andi Birulaut, Dwi Cahyadi, Pradono, dan Heri Purwoko.

Sebuah Dakwah Melalui Pentas Teater

Sesungguhnyalah dakwah bisa dilaksanakan melalui berbagai macam jalur dan media. Salah satunya adalah melalui jalur seni budaya. Pesan-pesan dakwah bisa disampaikan secara jelas maupun secara simbolis melalui peran-peran teatrikal.

Saya sangat berharap Teater Kanvas bisa terus eksis dalam pentas kebaikan. Mengajak masyarakat merenung dan berpikir tentang kehidupan, kebenaran namun juga tentang kegelisahan dan kegetiran. Pentas teater bisa menjadi kritik terhadap penguasa, bahkan bisa menjadi perlawanan terhadap kezaliman.

Pentas teater juga bisa menjadi sarana otokritik bagi aktivis dakwah dan organisasi dakwah. Menggugah kesadaran dan semangat berbenah diri agar selalu istiqamah dan tegar di jalan dakwah.

Kita nantikan pentas Penghuni Kapal Selam di berbagai kota lainnya. Kita nantikan pentas Teater Kanvas berikutnya. Juga kita nantikan pentas teater-teater lainnya yang mengusung nilai-nilai dakwah. Insyaallah akan menjadi semakin syumuliyah dengan kemunculan seni dan budaya dalam pentas dakwah.


Di tengah kemacetan perjalanan Bidakara - Soekarno Hatta,
23 Oktober 2014

Cahyadi Takariawan

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply