Oleh : Ibnu Dawam Aziz | Kompasiana.com
Mengikuti perkembangan terakhir kondisi politik di Negeri tercinta ini, perasaan miristerpaksa muncul, biarpun berusaha untuk tidak peduli. Semula merasa optimis dengan sikap Presiden Joko Widodo dengan safari politiknya yang berhasil merangkul Ketua Presidium KMP ARB, bahkan pendekatannya kepada Prabowo disambut oleh sikap kenegarawanan Prabowo, berhasil memberikan sentimen positif terhadap pasar secara signifikant.
Akan tetapi, dengan kegagalan Presiden Jokowi untuk menggunakan hak prerogative seorang Presiden yang selalu digembar-gemborkan menjadikan kita bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang Presiden ?
Sejak pasangan Jokowi - JK ditetapkan sebagai Pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, sejak itulah peran Jokowi sebagai seorang Presiden seperti terabaikan. Mewujudkan Kabinet Ramping sebetulnya bukan hal yang sulit, bila Presiden Jokowi konsisten dengan prinsipnya. Menggabungkan tiga sampai lima kementerian yang mempunyai keterkaitan, dengan tetap mempertahankan eselon satu sebagai penanggung jawab pelaksanaan tugas yang selama ini sudah dijalankan, tidak akan membuat kementerian menjadi berantakan.
Akan tetapi yang tampak justru dominasi oleh sebuah intervensi dari seorang Wakil Presiden, telah menyingkirkan kewibawaan Presiden Joko Widodo melalui sebuah interupsi. Kabinet Gemuk dipertahankan, bagi-bagi kekuasaan dilaksanakan, kemana Joko Widodo yang dulu ?
Bahkan sampai pada masalah kecilpun, seorang Presiden Jokowi tidak mampu juga mempertahankan kewibawaannya. Keinginannya untuk segera mengumumkan Kabinet, dengan memilih tempat dipelabuhan Tanjung Priok yang sudah dipersiapkan dan Wartawan sudah berdatangan yang merupakan HAK PREROGATIF seorang Presiden terpaksa harus dibatalkan.
Dimana WIBAWA seorang Presiden?
Atau benar Joko Widodo hanya petugas Partai ?
Yang lebih menyakitkan lagi, pernyataan Presiden Joko Widodo di media Televisi yang mengatakan bahwa ada delapan calon menteri yang tidak dibolehkan oleh KPK. Menyaksikan pernyataan ini masih bisa kita tafsirkan secara positif, bahwa Presiden Jokowi seorang yang rendah hati. Akan tetapi gayung seperti bersambut, dengan sangarnya Abraham Samad menanggapi dengan memberi penekanan bahwa calon yang disodorkan Presiden Jokowi yang oleh KPK telah ditandai dengan warna merah atau kuning, tidak boleh menjadi Menteri !
KPK melarang Presiden mengangkat menteri-menterinya.
Memangnya KPK itu lembaga apa ?
Memangnya Abraham Samad itu siapa ?
KPK telah melampaui batas ! dan Presiden Jokowi telah dirampas Hak Prerogatifnya.
KPK boleh mengumumkan secara terbuka ke public secara transparant tentang daftar orang-orang yang dinyatakan TIDAK LAYAK menjadi Pejabat Publik, dengan mencantumkan alasannya yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
KPK juga berkewajiban memberikan masukan atas rekam jejak orang-orang yang kredibelitasnya ditanyakan oleh Presiden. Akan tetapi warna merah dan kuning itu hak Prerogatif Presiden. Apakah kewenangan Abraham Samad melarang Presiden mengangkat seorang menteri ?
KPK itu hanya sebuah lembaga Ad Hock dengan kewenangan terbatas dan masa kerja terbatas, dalam arti selama masih dibutuhkan.
Siapa sebenarnya Puncak Pimpinan Lembaga Eksekutif Negri ini ?
Presidenkah ?
Wakil Presidenkah ?
Atau Ketua KPK yang telah menempatkan KPK sebagai Lembaga tertinggi Negara ?
Salam Prihatin untuk KEWIBAWAAN Presiden Republik Indonesia.
http://politik.kompasiana.com/2014/10/24/siapa-presiden-indonesia-sebenarnya-abraham-samad-jusuf-kalla-atau-joko-widodo--682232.html
Tidak ada komentar: